1. Musik Latarnya.
Adalah Embie C Noor yang jadi music director film ini. Seperti sudah paham akan dibawa kemana arah film ini, maka latar belakang musik mencekam lah yang dipilih. Karena memang itu tujuan dari film propaganda ini, memberi kesan mengerikan dan kejam tentang PKI. Dari mulai awal film yang memperlihatkan bung Karno di istana Bogor aja musiknya sudah menyayat. Belum lagi narasi yang kaku dan dingin serta latar suara berita radio yang menceritakan rawannya situasi politik saat itu. Musiknya tuh gak ngagetin dan bikin berdebar-debar seperti film horor pada umumnya, tapi pelan dan menyayat, seakan mengiris kuping dan hati. Pengalaman MBDC dulu sih, kalau gak berani liat adegan kekejaman di film itu, kita tutup kuping pun tetep berasa seremnya.
2. Setting
Berpindah-pindah dari mulai istana bogor, rumah para panglima, TK Ade Irma, ruang-ruang sempit penuh asap rokok, tempat rapat-rapat gelap PKI, dan tentu saja lubang buaya. Selingan suasana masyarakat miskin yang sedang antri beras, coretan-coretan Manipol Usdek di tembok-tembok dan atap rumah, poster bung Karno, semuanya menggambarkan suasana tahun 60an dengan sangat akurat dan memberi kesan betapa mencekamnya situasi saat itu.
3. Alur Cerita
Durasi film yang hampir 4 jam ini sama sekali gak bertele-tele, malahan bikin kamu tegang terus karena setiap adegan memberi kesan penting dan genting. Ditambah lagi keharusan untuk mengetahui isi film dengan baik dan benar bagi para pegawai negeri dan anak sekolah, karena akan keluar di ujian, membuat pengalaman menonton film ini menjadi semakin mendebarkan. Adegan kekerasan dan kekejaman dalam film ini gak usah ditanya lagi betapa sadisnya. Ketika para jendral disiksa dengan latar belakang lagu genjer-genjer itu sungguh tak terlupakan atau ketika anak DI Panjaitan histeris membasuh mukanya dengan genangan darah ayahnya, dan tentu saja tertembaknya Ade Irma. Bombastis meneror sampai ke alam bawah sadar. Membuat siapapun yang mendengar kata PKI akan merinding.
4. Dialog
Ah siapa sih yang gak inget ‘Darah itu merah, Jendral’, ‘Jawa adalah Kunci’, ‘Hari H, djam D’, ‘Bukan main wanginya minyak wangi jenderal. Begitu harum sehingga mengalahkan amis darah sendiri’. Merinding braaay. Dialognya sangat kuat, karena film ini adalah propaganda sejarah setiap kalimat dan fakta yang hendak diceritakan harus jelas. Sehingga penonton mengingat jelas setiap detil sejarah, nama-nama dan peristiwa yang hendak digaris bawahi dalam film ini. Semakin keren karena kamu sama sekali gak bosan menonton film ini, padahal sangat sarat dengan muatan sejarah dan propaganda.
5. Pemain
Film ini bisa dibilang film terbesar dalam sejarah film Indonesia, ada sekitar 10rb figuran dan 120 orang yang memerankan tokoh nyata. Sastrawan Ommar Kayam sebagai bung Karno, sastrawan dan wartawan Syubah Asa sebagai DN Aidit, Amaroso Katamsi jadi Soeharto, dan Wawan Wanisar jadi Pierre Tendean, ajudan Nasution yang tertembak menggantikan komandannya. Meskipun akting para pemainnya tidak ada yang terlalu istimewa, semacam akting berama-ramai gitu tipikal drama dokumenter, tapi justru kesan kaku dan dingin dari para pemainnya menambahkan nuansa serius dan mencekam dari film ini. Hii serem.
Sumber
Tahukah Kamu?
Kata “lethologica” menggambarkan saat dimana kita tidak bisa mengingat apa yang kita inginkan.