Setelah dikritik ribuan pihak, akhirnya Diknas melunakkan sikap dengan menyatakan bahwa itu hanya “anjuran” dan bukan peraturan yang mengikat. Good! We won! Walaupun Pak Menteri masih bersikeras bahwa seharusnya mahasiswa S1 dapat melakukan ini. Juga orang2 yg ga ngerti bedanya makalah jurnal ilmiah dengan makalah konferensi, tugas akhir mahasiswa, atau artikel komedi di internet.
Well, saya sudah pernah mengalami pendidikan S1 dan sudah pernah mengalami susahnya menulis makalah jurnal, and I can tell you, it’s friggin’ nearly impossible. Jadi saya ingin kalian semua mengerti seberapa susahnya, agar tidak serta merta ikut bilang, “Yah masa gitu doang ga bisa.” Saya akan jelaskan satu persatu alasannya, yang didasari fakta yang dengan senang hati seperti biasa kami cantumkan link-link nya di sini.
Note: Please remember kita cuma bahas yg buat S1 di sini.
1. Penelitian Itu Mahal, Jenderal…
Salah satu latar belakang dikeluarkannya peraturan yang kemudian diubah menjadi ‘anjuran’ tadi, adalah karena Malaysia mempunyai jurnal ilmiah 7 kali lipat lebih banyak dari Indonesia. Yup, benar sekali kawan2 yang kami hormati, ini memang alasan paling dasar dan paling awal yang dikemukakan dan ada di surat edaran resminya. Serius. Kami gak mengada-ada.
Wow Malaysia lagi ternyata penyebabnya!
Asik banget ya? Dulu gw pikir cuma orang2 tolol aja yang kerjaannya banding2in sama Malaysia, ternyata kaum berpendidikannya juga. Holysh*t. Ternyata memang apa yang dilakuin Indonesia tu semuanya ujung2nya cuma ga mau kliatan kalah sama Malaysia. Tapi biar begitu okelah kita hargai alasan Dikti dengan sok mengkajinya secara logis. Well, sebagai peneliti, kami di thePoskamling juga tau betul inti dari kemajuan penelitian itu apa selain kerja keras : DUIT!
Bukan, bukan masalah gaji, bro! Read first before you put derogatory comments below. Ini masalah penelitiannya itu sendiri. Coba pikir, kalau nggak ada uangnya, mau beli alat dan bahan pake apaan kita? Pake prihatin? Gimana mau bayar pengeluaran laboratorium yang super mahal coba, apalagi buat lab yang high-tech.
Dan inilah faktanya : Anda tahu dana riset yang digelontorkan oleh pemerintah Malaysia untuk memperoleh hasil semenakjubkan itu? Jawabannya : BESAR SEKALI, teman2. Menurut Bank Dunia, pada tahun 2006 Malaysia menggelontorkan dana 4 kali lebih besar dari Indonesia, demi bulu hidung Aphrodite!
Dengan dana sebesar itu, tentu saja hasil penelitian Malaysia jauh lebih baik. Padahal Indonesia lebih kaya gitu dari Malaysia. Jauh.
Masalah dana ini serius sekali, lho. Kalau memang Diknas jadi mau pake kebijakan ini buat meningkatkan jumlah jurnal ilmiah Indonesia, tanpa mengubah anggaran, well, saya punya perumpamaan yang menggambarkan keadaan ini dengan mudah.
Ada 2 pabrik roti, yang satu sebenarnya punya kekayaan dan modal lebih besar dari yang lain, tapi cuma mau keluar uang sedikit untuk membeli bahan2 roti. Entah kenapa, mungkin uangnya buat beli pesawat buat direktur utamanya. Nah, ujung2nya, pabrik yg lebih miskin menjual lebih banyak roti (ya jelas lah wong duid buat beli bahannya lebih banyak). Si pabrik kaya ini kesel, iri dengki, dan mungkin karena didesak sama direkturnya, manajer2nya harus mencari cara entah gimana buat naikin produksi. Nah, karena manajer2nya juga ga mau ambil pusing, langsung aja bikin pengumuman : Mulai minggu depan produksi roti harus naik 7 kali lipat! Entah gimana caranya!
2. Nulis Makalah Jurnal Ilmiah itu, Susah
Alasan lain yang dikemukakan mereka adalah, “Anak S1 itu kuliah 4 tahun, lho! Masa menulis aja nggak bisa?”. Hmmm, melihat bahwa pejabat2 terkait adalah mantan rektor, kami bingung juga kenapa mereka tidak tahu susahnya menulis makalah jurnal.
Eh, tapi kita nggak berasumsi mereka ga pernah nulis makalah di jurnal ilmiah serius sebelumnya, lho.
Tapi baiklah, dengan baik hati kita jelaskan kepada mereka. Mulai dari mana, ya? Hmm oke, mari kita mulai dari definisi. Sir, this will really depend on how you define “menulis”.
Jelas sekali menulis itu bermacam2 kelasnya. Kalau cuma nulis cerpen di Bobo sih anak SMP juga pasti udah bisa. Laporan praktikum? Jelas udah bisa, termasuk copy paste edit nya. Tugas akhir? Tentu saja. Semua kampus juga rata2 mensyaratkan tugas akhir bagi para mahasiswa S1nya.
Nah, sekarang yang jadi masalah adalah makalah untuk JURNAL ILMIAH. Well, apa sih itu jurnal ilmiah? Menurut wikipedia:
In academic publishing, a scientific journal is a periodical publication intended to further the progress of science, usually by reporting new research.
Di sini ada kata2 “dimaksudkan untuk mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, biasanya dengan melaporkan riset baru.” Riset baru, bro! Berarti sesuatu yang belum pernah dikerjakan/dilaporkan sebelumnya. Memang progress sekecil apapun dapat dimasukkan ke jurnal ilmiah, tapi kalau cuma belajar atau meniru kerjaan yang sudah dikerjaan orang lain? Atau teknologi yang ga masuk akal atau hoax? Masa bisa dimasukin ke jurnal ilmiah??
Masa ngebedah kodok atau bikin lampu countdown di lampu lalu lintas bisa dimasukin ke jurnal ilmiah? Nggak kan? Nah, gimana kalo gw kasitau, bikin gituan aja udah susah buat anak S1 dan bisa ngelulusin orang? (note : dalam skala nasional ya, bukan cuma ngomongin kampus besar, kecuali kalo lu emg ga peduli sama kampus2 kecil).
Kalo ada yang jadi berpikir, “Lho, berarti lulusan S1 itu nggak bisa apa2 dong?” jawabannya adalah, well, yeah, SURE! Lu kira 4 tahun dah pinter? Dah bisa mengubah dunia? Lulus S1 bisa jadi Einstein??
Di sistem 3 jenjang, S1memang tidak disiapkan untuk mengerti dan bisa membuat sesuatu. S1 hanya disiapkan menjadi orang yang “bisa belajar apa saja ke depannya”. Ada yang bilang S1 itu cuma untuk membentuk pola pikiran sesuai bidang yang dia tekuni. Secara keilmuan sebenarnya tidak terlalu dalam. Makanya lulusan teknik itu nggak semuanya jadi insinyur. Banyak yang kerja di bank, pemerintahan, bisnis, jadi kuli, dll.; tergantung minatnya. S1 tekniknya itu cuma membentuk pola pikir logis agar bisa melangkah ke jenjang selanjutnya (kuliah atau kerja) dengan kepala dan t***t yang tegak terangkat mantap penuh keyakinan.
Kalau emang terus kuliah S2 atau S3 di disiplin ilmunya, ya dia bakal lebih fokus dan terarah sampai akhirnya bisa menghasilkan suatu karya yang ada kontribusinya bagi dunia ilmu pengetahuan. Itu susah, lho. Kalau cuma bikin sesuatu yg udah pernah dibuat orang lain (misal : mobil), ya jelas nggak ada kontribusinya bagi dunia ilmu pengetahuan. Wong cuma nyontek. Jadi ya nggak bisa jadi makalah jurnal ilmiah.
Kecuali kalau kamu Bill Gates, yang emang udah bisa nulis makalah jurnal ilmiah bermutu dari S1. Tapi coba, ada berapa Bill Gates di Mother Earth ini?
Di negara maju di luar negeri juga ga ada yang disuruh nulis makalah jurnal. Di Korea paling report. Itu juga cuma 30 halaman. Lebih pendek dari laporan tugas akhir di Indonesia.
Di Korea bahkan lulusan S2 tidak diwajibkan menulis makalah jurnal untuk lulus, karena mayoritas mahasiswa S2 emang masih hanya belajar saja. Apalagi ada S2 profesi dan part-time, yang jelas2 hanya belajar. Nggak meneliti.
Nah, kalau di Korea, cara meningkatkan jumlah jurnalnya adalah memberi ‘tunjangan’ bagi orang yang berhasil menerbitkan karya di jurnal bermutu, baik dari jurnal terakreditasi nasional sampai jurnal internasional. Tidak ada kewajiban, tetapi makalah jurnal ilmiah yang terbit akan dihargai. Dengan begitu, peneliti2 terpacu dan berlomba2 membuat karya ilmiah.
Anak S1 emang nggak menerbitkan apa pun, tapi anak S3 nya bisa terbit 2 makalah jurnal internasional setahun, which is friggin’ impressive. Daripada buang2 uang bikin jurnal2 yg banyak tapi nggak jelas, kan, mendingan gini? Menurut saya, that is what is called a smart solution, a smart incentive. Alokasi dana yang cerdas dan jelas manfaatnya.
3. Bikin Buku Jurnalnya Itu, Juga Susah
Alasan berikutnya bukan di penelitian dan bagaimana menulisnya, tapi di pembuatan jurnal itu sendiri (bukunya). Gak sembarang kumpulan karya ilmiah mahasiswa yang dijilid dalam 1 buku bisa disebut jurnal ilmiah. Ada standarnya. Standar pertama adalah dari definisi jurnal ilmiah yang kami cantumkan tadi. Yaitu harus “dimaksudkan untuk mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, biasanya dengan melaporkan riset baru” tadi.
Untuk memastikan hal itu, karya-karya ilmiah tadi harus mengalami proses yang namanya peer review.
Bagi yang belum tahu, proses ini adalah proses yang harus dijalani agar sebuah makalah layak dimasukkan ke jurnal ilmiah. Dalam proses ini, si ‘calon makalah’ diteliti, dicek, dan dikoreksi oleh sebuah panel beranggotakan beberapa ‘editor’ dari jurnal tersebut. Biasanya diteliti keabsahannya, ngawur apa nggak, orisinalitasnya, dan kontribusinya terhadap dunia keilmuan. Editor2 ini biasanya profesor2 atau doktor2 S3 yang kompeten di bidangnya.
Nah, kalau seluruh lulusan S1 Indonesia yang setiap tahunnya berjumlah 800000 orang harus menulis sebuah karya ilmiah, berarti akan ada minimal 800000 makalah setiap tahunnya. Mari kita hitung berapa jumlah makalah yang harus di-review oleh orang2 yang kompeten ini.
Jumlah lulusan S3 yang ada di Indonesia sekarang hanya sekitar 14000. Biasanya 1 makalah direview oleh 3 editor, so, simple math. 800000 dibagi (14000 / 3), berapa?
172 MAKALAH PER ORANG PER TAHUN!
Holysh*t, jadi jika kita bisa mengkaryakan seluruh lulusan S3 yang ada untuk me-review makalah, termasuk Pak Menteri, staf2nya, dan orang2 di foto2 di atas (which is impossible), setiap orang S3 harus me-review 1 karya ilmiah dua hari sekali! Hanya dari lulusan S1. Belum yang S2 dan S3 lainnya, belum jurnal2 dan konferensi2 ilmiah yang sudah ada sebelumnya.
Dan ini adalah estimasi yang sangat optimis. Jumlah reviewer sebenarnya jauh lebih kecil dari 14000 ketika kita sudah bicara masalah gaji. Berapa orang itu yg mau ngedit dan baca2 paper2 ga jelas dari anak2 S1 tanpa bayar? Clearly Ph.Ds are not social workers, dummy.
Belum lagi kita tahu sendiri banyak lulusan S3 yang cuma ‘part-time’ (baca : politikus, pejabat yang mau naik pangkat doang). Mereka nggak riset beneran, cuma bikin karya ilmiah formalitas yg kadang2 ga jelas. Yang begini ini jelas2 ga bisa diandalkan buat review jurnal.
Padahal masalah peer review untuk bikin buku ini untuk bikin buku ini sangat penting di Indonesia. Karena kita tahu sendiri, di negara kita plagiarisme masih menjamur……
4. Plagiarisme masih menjamur di Indonesia
Yah, beginilah kenyataannya. Plagiarisme memang masih marak dilakukan di Republik tercinta ini. Kalo ga ada peer review, jelas sekali jurnal-jurnal yang dihasilkan bakal berisi copy paste edit aja. Ga akan bisa bikin jurnal bermutu kalau isinya plagiarisme semua.
Apalagi kalau jurnalnya jurnal online, which is their actual plan, actually. Makanya gw bingung banget waktu Pak Menteri bilang ini justru malah bisa mengurangi plagiat.
Menurutnya, karena jurnalnya online, semua karya ilmiah akan di-upload di internet sehingga bisa ketahuan mana yang melakukan plagiat atau tidak. Smart, eh?.
Not really. Bener2 deh, Pak, ampuuun, ga mungkin ada lah orang copy paste ga di edit terlebih dahulu. Mahasiswa sekarang jelas2 dah jago gitu2an, dilatih bertahun2 oleh yang namanya “laporan praktikum” dan “PR”. Itu aja niat edit2nya apalagi skripsi. Kalo cuma dicek pake software tanpa melewati proses peer-review yang rumit dan menguras tenaga dan biaya kek tadi ya kemungkinan plagiarismenya ke-detect kecil, lah! Agak heran juga sih kami kenapa Diknas mengeluarkan alasan ini. Denger2 menteri dan dirjen diktinya mantan2 rektor. Masa ga ngerti ada beginian di kampus2 mereka? Well, kami hanya bisa menyimpulkan bahwa mereka antara pura-pura tidak tahu atau memang tolol. Dua2nya sucks, anyway.
Kesimpulan yang lebih logis justru kebalikan dari alasan ini. Yup, hal ini akan semakin menyemarakkan bisnis ilegal dunia pendidikan. Yaitu “Jasa pembuatan skripsi”. Yah misalnya memang para pejabat itu nggak tahu, ada banyak sekali jasa-jasa aneh ilegal yang berkeliaran namun herannya nggak pernah digrebek polisi atau ‘organisasi kemasyarakatan’ apapun. Di Bandung aja ada banyak berderet di xxxxx. Kalo mau memberantas plagiasi, bunuh dulu yg kyk gitu. Ini dibiarin aja. Bahkan ini udah ada yg onlen. Masa kyk gituan ga bisa dibunuh? Masa bisanya cuma ngurusin situs porno?
Dengan adanya kebijakan baru ini, muncullah lahan baru bagi mereka, lahan baru untuk semakin membodohi bangsa : LAYANAN JURNAL ILMIAH! Dengan adanya peraturan seperti ini dan masih banyaknya layanan skripsi yang beredar bebas, jelas saja mereka mendapat pangsa pasar baru. Yang dulunya mahasiswa cuma bayar berapa buat skripsi, sekarang bisa di-dobel harganya kalau mau sekalian karya ilmiah! Hassle-free! Terima kasih Depdiknas! Salut!
Well, kita hanya bisa melihat berapa lama waktu yang dibutuhkan bagi biro2 itu untuk menyadari peluang baru ini kalau emang peraturannya disahkan.
Ah bener juga! Ada teori ketiga! Jangan2 di proyek ini diknas berkolaborasi dengan biro2 jasa pembuatan skripsi abal2?
5. Sekali lagi, ini tidak sama dengan sekedar ‘karya ilmiah’ atau ‘tugas akhir
Tapi jelas sekali pejabat-pejabat kita ini bukan orang yang bodoh juga. Begitu diserang dengan argumen-argumen mengenai susahnya menulis, mereview, dan mempublikasi karya ilmiah yang baik, mereka langsung menimpali, “Ya udah pokoknya yang penting ada dulu lah! Bagus jelek itu belakangan yang penting ada dulu! Isinya entah apaan!” (Editor’s note: they actually didn’t say it this way; we’re just complied to add some sarcasm in it). yang membuat saya bingung, ini beneran rektor bukan sih? Kok main ngasal aja? Apa cuma mau keliatan kerja di depan orang2 yg gak ngerti?
Kalo emang yang penting kuantitas dulu, adanya ntar paling asal2an cuma buat setor ke dikti. Lampu lalu lintas atau percobaan nyalain lampu pake saklar juga bisa jadi “makalah ilmiah”. Kalo ginian doang, ntar pada akhirnya jurnal S1 ini isinya bakal sama persis sama yang namanya “laporan tugas akhir” yang memang udah dijadiin syarat lulus S1 oleh kampus2 dari dulu. Biasanya juga accessible secara online.
Nah, kalo sama, ngapain harus dipublikasikan 2 kali? Buang2 uang dan tenaga saja. Buat nambah proyek, Om?
Cuma biar bisa bilang dengan bangga ke atasan (yang nggak ngerti), “Pak, jurnal ilmiah kita setara dengan Malaysia!” (padahal bukan jurnal cuma laporan tugas akhir)? WTF? Proyekan ‘Asal Bapak Senang’ doang dong ini?
Bener kan? Jurnal2an ini paling ntar jadi ajang keren2an di depan Presiden (yang entah ngerti ga apa itu jurnal ilmiah) dan jadi proyekan baru aja buat pejabat2 diknas. Jadinya nanti mereka punya proyek lain selain ujian nasional dan SPMB. Nambah deh rejeki nomplok tahunannya, apalagi kalo kerjasama sama biro2 jasa pembuatan jurnal abal2.
Eh? Wait. That makes good sense, ain’t it? :D
Jadi, kita ga ada dana untuk ini, hampir mustahil bagi anak S1 untuk menulisnya, lebih mustahil lagi kekuatan untuk tiba2 menampung jurnal sebanyak itu, paling2 cuma nambah2in plagiarisme, sebenarnya sudah terakomodasi dengan tugas akhir S1, dan kalo dipaksain jadinya cuma buang2 uang dan tenaga tanpa hasil. Tell me, r u still recommending these?
Silakan di-share ke orang2 yg menganggap jurnal ilmiah ini bisa dikerjakan anak S1. Let them see. Oh iya, Do share your comments about this below. Terutama yang sudah pernah merasakan pahit getirnya menulis jurnal ilmiah :D
Trashtrowijoyo sudah pernah lulus S1, dan sejauh ini makalah untuk jurnalnya masih direview oleh editor2 yang tak berperikemanusiaan. Ga semua artikelnya ngritik2 dan sinis kok. Anda bisa melihat yang lain di 6 kisah kepahlawanan JANTAN masa kini di Indonesia dan 4 KEMENANGAN PERTEMPURAN orang Indonesia yang kamu belum tahu. Dia dapat ditemui di twitter dan websitenya.
The Poskomling
Tahukah Kamu?
Mata burung unta lebig besar dari otaknya