Selasa, 07 Agustus 2012

Rakyat Indonesia Beli Kucing Dalam Karung

 Walau istilah "beli kucing dalam karung" tergolong perumpamaan yang telah tumbuh sejak jaman dulu, namun dalam kehidupan nyata sehari-hari, kondisi semacam itu masih terus berlangsung. Perilaku "beli kucing dalam karung" seakan selalu akrab dalam kehidupan. Segenap warga bangsa seperti yang memaklumi jika hal itu harus terjadi. Terlebih-lebih setelah era reformasi bergulir, dimana kita mulai melaksanakan sistem demokrasi secara "murni dan konsekwen". Pertanyaan mendasar nya adalah mengapa dalam era transparansi, demokratisasi dan akuntabel sekarang malah lebih marak lagi praktek-praktek politik yang memperjelas suasana "beli kucing dalam karung" ?

       Banyak teladan yang dapat diungkap terkait dengan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) yang mengindikasikan terhadap praktek-praktek beli kucing dalam karung. Dengan di buka nya kran demokrasi secara transparan, maka siapa pun orang nya, bagaimana pun kehidupan nya dan dari mana pun diri nya berasal, selama dapat memenuhi aturan perundang-undangan yang berlaku, maka halal hukum nya untuk menampilkan diri sebagai Calon Kepala Daerah. Setiap orang berhak memiliki tiket. Setiap orang mempunyai kesempatan untuk jadi pemimpin.

      Tidak ada lagi istilah yang menyatakan bahwa untuk jadi Gubernur mestilah orang yang sudah teruji di Pemerintahan, baik sipil atau militer. Pupus sudah pernyataan yang menegaskan bahwa untuk menjadi Bupati atau walikota haruslah orang-orang yang telah lulus Lemhanas. Kini, posisi-posisi semacam Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia, dapat diraih oleh siapa saja. Seorang pengusaha yang
tidak pernah terlibat dalam urusan Pemerintahan misal nya, memiliki kesempatan untuk menjadi orang nomor satu di Provinsi, Kabupaten atau Kota.

        Sosok ustad yang keseharian nya menghabiskan waktu di Pondok Pesantren, juga memiliki peluang untuk merebut jabatan publik tersebut. Bahkan seorang penyanyi dangdut pun tidak diharamkan bila berminat untuk menjadi seorang penguasa. Reformasi yang mengemuka sejak 14 tahun silam, benar-benar melahirkan banyak perubahan. Sentralistik kebijakan dirubah dengan disentralisasi. Dominasi Pemerintah Pusat terhadap Daerah hampir tidak pernah terjadi, kecuali hal-hal yang masih dibutuhkan sesuai dengan kewenangan yang ada. Prinsip egaliter terkesan ingin ditumbuh-kembangkan. Termasuk juga spirit untuk memberi hak politik secara penuh terhadap setiap anak bangsa.

       Konsekwensi logis nya, ternyata tidak setiap orang yang berhasrat untuk menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota itu adalah sosok yang sudah populer dalam kehidupan rakyat sehari-hari. Mereka rata-rata hanya sekedar memiliki keinginan tapi kurang didukung oleh elektabilitas yang memadai. Kalau pun ada yang memiliki nilai tambah, boleh jadi hanya sampai "jago kandang" semata, dan belum mampu dikenali secara lebih luas lagi. Namun apa mau dikata, jika suasana nya memang seperti itu. Sesuai dengan aturan main yang ada, mereka yang "memiliki" Partai Politik, relatif bakal lebih mudah untuk menggondol tiket ketimbang mereka yang tidak memiliki akses ke Partai Politik.

       Akibat nya wajar jika mereka yang tampil mencalonkan diri, ujung-ujung nya adalah para elit partai politik, yang untuk meraih posisi tersebut kata nya cukup merogoh kocek yang tidak kecil. Belum lagi peluang untuk Calon Independen yang kini semakin dibuka. Dari sini dapat dibayangkan, bagaimana sulit nya rakyat akan menentukan pilihan politik nya, bila dalam penghelatan tersebut tampil 7 Pasangan Calon yang tidak dikenali nya ? Itu sebab nya, banyak diantara masyarakat yang akhir nya memilih pemimpin nya identik dengan "beli kucing dalam karung".

Sumber

Tahukah Kamu?
Karena pengaruh rotasi bumi, kalau kita melempar kearah barat, lemparan kita akan lebih jauh jatuhnya dari pada kearah timur